Freee!! Silahkan berlangganan tuliskan email anda dibawah ini

Salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan organisasi adalah sumber daya manusia, dan bagaimana baiknya sumber daya manusia itu difokuskan untuk memenuhi tujuan-tujuan organisasi.

Schonberger (1994) dalam Lowery et. al. (2000) menyatakan bahwa agar TQM dapat berhasil diimplementasikan dan diinstitusionalisasikan, dibutuhkan perubahan-perubahan dalam manajemen sumber daya manusia. Praktek-praktek manajemen sumber daya manusia tidak bebas sendiri, tetapi terkait dengan paket TQM dan harus selaras dengan perubahan-perubahan proses. Perubahan dibutuhkan dalam hal seleksi karyawan, pelatihan dan pengembangan, penilaian kinerja, serta penetapan balas jasa dan penghargaan kepada karyawan.

Integrasi total quality management (TQM) dengan manajemen sumber daya manusia (human resource management), disebut sebagai: Total Quality Human Resource Management (TQHRM).

Keberhasilan TQM tergantung pada kontribusi sumber daya manusia. Langkah pertama dari implementasi TQM adalah membentuk tim kerjasama untuk bertindak sebagai kekuatan pendorong dari proses implementasi. Tim kerjasama harus disusun berdasarkan individu-individu yang dalam posisinya memiliki kontribusi signifikan kepada manajemen. Sebagai misal, tim harus terdiri dari manajer-manajer dan staf yang berasal dari fungsi-fungsi berikut: pembelian, pengembangan produk, manufakturing, jaminan kualitas, pemasaran, akuntansi dan keuangan, pengembangan sumber daya manusia, dan lain-lain.

Lowery et. al. (2000) dalam suatu survei terhadap perusahaan-perusahaan industri, telah mendaftarkan elemen-elemen penting dari TQHRM yang diterapkan dalam organisasi industri, seperti ditunjukkan dalam Daftar berikut:

Implementasi Elemen-elemen TQHRM dalam Organisasi
Pelatihan keterampilan pekerjaan
Pelatihan solusi masalah
Penghargaan kepada karyawan
Pembentukan kelompok kerja
Pelatihan lintas-fungsi (cross-functional training)
Perubahan dalam prosedur seleksi karyawan
Perubahan dalam penilaian kinerja
Penghargaan karyawan melalui kompetisi
Kesempatan memperoleh bonus atau pembayaran lebih
Implementasi sistem insentif kepada tim kerjasama

Kita mengetahui bahwa pelatihan dan pengembangan merupakan elemen-elemen utama dari TQHRM. Dua jenis pelatihan yang penting adalah: pelatihan yang berkaitan dengan pekerjaan untuk meningkatkan keterampilan dan kepuasan karyawan, dan pelatihan lintas-fungsi untuk mengembangkan kerjasama dan fleksibilitas karyawan. Pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan solusi masalah-masalah kualitas juga diberikan kepada karyawan. Karena salah satu sasaran dari TQM adalah pemberdayaan karyawan (employee empowerment)—meningkatkan tanggung jawab karyawan terhadap kualitas produk, maka adalah sangat penting bagi mereka dibekali dengan alat-alat atau metode solusi masalah, sehingga mereka mampu mengambil inisiatif dalam menyelesaikan masalah sehari-hari.

Berdasarkan informasi di atas, kita mengetahui bahwa setiap aspek pengembangan TQM tergantung pada orang-orang yang sedang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan produktif, sedang bekerja lebih cerdas, dan sedang membantu meningkatkan sistem itu. Pencapaian peningkatan kualitas melalui cara ini dalam TQM dikenal sebagai metode pelibatan karyawan (employee involvement method) atau kadang-kadang disebut sebagai tim kerjasama (work teams) atau tim lintas-fungsi (cross-functional teams).

Metode Employee Involvement (EI) didefinisikan sebagai konsep yang menggunakan pengalaman, energi kreatif, dan kemampuan intelektual dari semua karyawan, melalui memperlakukan mereka dengan rasa hormat, memberikan mereka informasi, dan melibatkan mereka dalam proses pembuatan keputusan sesuai dengan bidang keahlian mereka. Employee involvement berfokus pada peningkatan kualitas dan produktivitas organisasi.

Employee involvement (EI) memiliki tiga elemen kunci:

• Tanggung jawab karyawan (worker responsibilities), di mana berdasarkan filosofi TQM, operator dan pekerja harus menjadi orang-orang mandiri yang bertanggung jawab langsung untuk peningkatan proses, pengendalian kerja dan peralatan, dan perbaikan terhadap penyimpangan yang terjadi.

• Tanggung jawab manajemen (management responsibilities), di mana peranan dari manajemen adalah menciptakan situasi yang memungkinkan karyawan mampu melaksanakan pekerjaan dengan tanggung jawab baru di atas.

• Implikasi organisasi (organizational implications), di mana perubahan peranan dari karyawan dan manajemen, akan memberikan implikasi yang signifikan untuk organisasi dan cara bagaimana organisasi itu berfungsi.

Konsep employee involvement (EI) berarti bahwa setiap individu bertanggung jawab untuk tindakannya, sehingga setiap orang harus bertanggung jawab untuk mengidentifikasi tindakan-tindakan yang diperlukan dan kemudian bertindak tanpa perlu diarahkan atau diperintah secara langsung. Praktek-praktek manajemen tradisional adalah bersifat sentralisasi dan mengembangkan struktur wewenang yang kaku, sedangkan TQM menerapkan struktur organisasi desentralisasi. Dengan demikian, jika karyawan dari organisasi itu telah terlibat dan mengadopsi ide-ide tanggung jawab pada sumber penyebab masalah, maka manajemen harus mendelegasikan tanggung jawab dan wewenang kepada karyawan yang telah dapat didayagunakan itu.

Bagaimanapun, terdapat beberapa kegagalan umum dari konsep employee involvement (EI), yang diterapkan secara keliru, antara lain:

* Implementasi teknik employee involvement (EI), misalnya gugus kendali mutu (GKM) atau tim kerjasama, hanya mengejar apresiasi tanpa suatu tujuan yang dinyatakan secara jelas oleh manajemen.
* Kegagalan untuk memberikan pelatihan yang tepat—dalam hal ini manajemen dan karyawan membutuhkan pelatihan dalam teknik-teknik hubungan kerja yang baru.
* Kegagalan mendefinisikan sasaran dan ekspektasi—ekspektasi berkaitan dengan hasil-hasil perubahan harus didefinisikan secara jelas.
* Kegagalan mendelegasikan wewenang dengan tanggung jawab—tanggung jawab pada sumber-sumber harus diberikan agar karyawan mampu melakukan perubahan-perubahan yang tepat.
* Kegagalan membagi data dan informasi—manajemen harus mau membagi semua data dan informasi yang diperlukan, termasuk informasi tentang biaya dan pengeluaran lain.
* Kegagalan dalam koordinasi—manajemen harus menjamin bahwa semua kelompok kerja berada di bawah koordinasi yang jelas, dan tidak bekerja sendiri-sendiri.
* Kegagalan dalam mendengarkan karyawan—kebanyakan manajer gagal dan tidak mau mendengarkan suara dan pendapat karyawan. Dalam pengertian ini, mendengarkan berarti memahami atau mengerti, karena prinsip dasar dari metode employee involvement (EI) adalah bahwa karyawan yang bertanggung jawab melaksanakan perubahan-perubahan, sedangkan manajemen memberikan dukungan.
* Kegagalan menerapkan peningkatan—setelah mendengarkan suara karyawan, maka manajemen harus bertindak untuk melaksanakan perubahan-perubahan yang dikembangkan oleh karyawan, karena bagaimanapun karyawan sendiri tidak akan mampu melaksanakan peningkatan yang berkaitan dengan perbaikan sistem, prosedur-prosedur, dan kebijaksanaan-kebijaksanaan.
* Kegagalan mengakui kegagalan—tidak semua upaya peningkatan selalu memberikan hasil yang memuaskan. Setiap kegagalan yang dihasilkan, seyogianya dipandang sebagai pengalaman belajar positif, sehingga kegagalan yang sama tidak akan berulang di masa mendatang.

Dari berbagai informasi di atas, kita mengetahui bahwa perencanaan pengembangan sumber daya manusia merupakan keharusan dan mutlak, serta merupakan awal dari proses implementasi total quality human resource management (TQHRM).

Suatu laporan dari U.S. General Accounting Office (GAO) pada tahun 1991, mengindikasikan bahwa TQM memberikan dampak positif bagi peningkatan produktivitas, pangsa pasar, profitabilitas, kepuasan pelanggan, dan hubungan kerja antar-karyawan. Beberapa temuan dari studi GAO, ditunjukkan dalam Daftar 2. Hasil-hasil dari Implementasi TQHRM
Hasil-hasil:

Peningkatan kualitas
Peningkatan partisipasi karyawan
Peningkatan kerjasama
Peningkatan hubungan kerja
Peningkatan kepuasan pelanggan
Peningkatan kepuasan karyawan
Peningkatan produktivitas
Peningkatan komunikasi
Peningkatan profitabilitas
Peningkatan pangsa pasar

Pada dasarnya upaya-upaya peningkatan kualitas dari perusahaan harus dimulai dari komitmen yang tinggi dari manajemen disertai dengan peningkatan kinerja individu (karyawan) yang ada dalam perusahaan itu, sehingga manajemen industri yang ingin meningkatkan kualitas perusahaan harus memberikan perhatian utama kepada masalah kinerja individu (karyawan), sebelum menggarap kinerja dari sumber-sumber daya lain seperti: material, energi, modal, mesin dan peralatan, informasi, dll.

Karakteristik umum dari individu atau karyawan yang memiliki kinerja yang unggul biasanya ditandai dengan beberapa hal berikut:

1. Secara terus-menerus selalu mencari gagasan-gagasan dan cara penyelesaian tugas yang lebih baik.
2. Selalu memberikan saran-saran untuk perbaikan secara sukarela.
3. Menggunakan waktu secara efektif dan efisien.
4. Selalu melakukan perencanaan dengan menyertakan jadual waktu.
5. Selalu bersikap positif terhadap pekerjaannya.
6. Dapat berperan sebagai anggota tim kerjasama yang baik, sebagaimana juga menjadi pemimpin tim kerjasama yang baik.
7. Dapat memotivasi diri melalui dorongan dari dalam diri sendiri.
8. Memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik terhadap pekerjaannya serta mau menerapkannya dalam pekerjaan itu.
9. Mau menerima ide-ide atau saran-saran yang dianggap lebih baik dari orang lain.
10. Hubungan antar-pribadi dengan semua tingkatan manajemen dalam organisasi berlangsung dengan baik.
11. Sangat menyadari dan mempedulikan masalah pemborosan dan inefisiensi dalam penggunaan sumber-sumber daya.
12. Seringkali melampaui standar-standar yang telah ditetapkan.
13. Selalu mampu mempelajari sesuatu hal baru dengan cepat.



Daftar Pustaka
1. Berry, T. H. 1991. Managing the Total Quality Transformation. New York, McGraw-Hill.
2. Gaspersz, Vincent. 2005. Total Quality Management. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
3. Lowery, C. M., Nicholas A. Beadles II, and James B. Carpenter. 2000. TQM’s Human Resource Component. Quality Progress, Vol. 33. No. 2, pp.55-59.

21:38

Jalur Pengembangan Karir

Posted by NINJA |

Karir yang mapan adalah dambaan setiap karyawan. Nggak heran jika banyak orang yang berupaya keras untuk mencapai puncak karir. Tentu, untuk mencapainya anda tidak bisa menggunakan jalan pintas. Anda tidak bisa meraihnya seperti membalikkan telapak tangan.
Untuk mencapai karir yang diinginkan, ada cara dan jalur tersendiri yang harus anda lalui. Apalagi perusahaan-perusahaan bonafid selalu menciptakan jenjang karir yang sesuai dengan kapasitas dan kualitas karyawan itu sendiri. Dan karyawan harus melewati jalur tersebut untuk mencapai jenjang karir tertentu. Nah, sekarang coba kenali jalur-jalur pengembangan karir tersebut:
Enrichment, yaitu pengembangan dan peningkatan melalui pemberian tugas atau assignment secara khusus. Hal ini merupakan bentuk umum dari pengembangan karir.

Lateral, yaitu pengembangan karir ke arah samping. Maksudnya pekerjaan lain mungkin lebih cocok dengan ketrampilan seorang karyawan dan bisa memberikan pengalaman yang lebih luas. Jika anda merasa karir anda mentok, cobalah tantangan baru. Mungkin tantangan baru itu akan memberikan kepuasan yang lebih besar.

Vertical, pengembangan karir ke arah atas. Anda bisa mengembangkan karir ke posisi dengan tanggung jawab dan wewenang yang lebih besar di bidang keahlian khusus atau keahlian khusus yang baru.

Relocation, yaitu perpindahan secara fisik ke unit organisasi lain atau ke tempat yang dapat melengkapi kesempatan perkembangan dan peningkatan harapan karyawan, tetapi tetap pada pekerjaan dan bidang yang sama.

Exploration, yaitu pengembangan karir ke arah yang lebih luas kepada pilihan karir di dalam unit organisasi maupun di luar unit organisasi. Ini berguna untuk mencari dan mengumpulkan informasi sehingga anda dapat menjawab pertanyaan dan membuat suatu keputusan tentang potensi karir yang akan dipilih.

Realignment, yaitu pergerakan ke arah bawah yang mungkin dapat merefleksikan suatu peralihan atau pertukaran prioritas pekerjaan bagi karyawan untuk mengurangi risiko, tanggung jawab, dan stres. Cara ini dapat menempatkan posisi karyawan ke arah yang lebih tepat sekaligus memberi kesempatan atau peluang yang baru.

Proses dan pengembangan karir yang dikembangkan melalui jalur-jalur di atas merupakan perpaduan kekuatan dan kepentingan antara perusahaan dengan karyawan. Hal tersebut berdasarkan nilai-nilai kemitraan yang dapat menumbuhkan pembinaan karyawan yang berorientasi profesionalisme. Karena pengembangan karir karyawan tidak semata ke arah struktural tetapi juga mengembangkan keahlian ke arah fungsional, dengan demikian posisi fungsional mempunyai peran sebagai Equal Partner posisi struktural.Kini anda telah tahu bukan bahwa karir adalah sesuatu yang harus diwujudkan dan terus dikejar? Jika karir anda terhambat, macet, atau mentok, upayakan untuk mengatasinya. Sehingga tidak akan mengalami stag di satu titik.
Selamat melewati jalur karir….!

Oleh:
Roy Sembel,
Direktur MM Finance and Investment, Universitas Bina
Nusantara (
www.roy-sembel.com),
Sandra Sembel,
Pemerhati dan praktisi pengembangan SDM
(
ssembel@yahoo.com)

Jika Anda mendapat tawaran untuk menduduki posisi puncak di sebuah perusahaan, apa yang akan Anda lakukan? Menerima tawaran ini atau menolaknya? Hampir dapat di-pastikan Anda akan menerimanya. Tapi, tunggu dulu. Bagaimana kalau perusahaan yang ditawarkan untuk Anda pimpin itu sedang berada di ujung jurang kehancuran (dua kali pernah hampir bangkrut dan sekarang sedang mengalami krisis dan menunjukkan tanda-tanda menuju kebangkrutan)? Tanda-tandanya sangat jelas: perusahaan merugi, hampir kehabisan uang tunai, dililit utang, karyawan berseteru dengan top management, dan yang terburuk adalah perusahaan sudah mulai ditinggalkan oleh pelanggan karena kualitas layanan yang sangat buruk.
Nah, apakah Anda jadi memutuskan untuk menerima tawaran menjadi CEO di perusahaan yang sedang melaju menuju kematiannya ini? Kali ini mungkin Anda akan berpikir lebih lama sebelum memberi jawaban.
Jawaban ‘Ya’ bisa saja tetap Anda berikan jika Anda tahu strategi yang bisa Anda terapkan untuk memutar balik keadaan krisis menjadi sukses. Ingin tahu strategi yang bisa mengubah kondisi terburuk menjadi terbaik? Mari kita berguru pada Gordon Bethune yang sudah berhasil mengubah Continental Airlines yang ketika itu sedang berada di ujung kematian menjadi salah satu perusahaan penerbangan terbaik di Amerika Serikat.

Terpuruk Dalam Kondisi Terburuk
Apa ciri-ciri perusahaan yang sedang berada di ujung jurang kehancuran? Tidak sulit untuk melihat tanda-tandanya. Andapun pasti dapat menyebutkan indikatornya, tiga yang paling penting adalah sebagai berikut.

Merugi
Secara sederhana, perusahaan merugi jika pengeluarannya lebh besar dari pendapatan. Keuntungan ibarat darah bagi perusahaan. Jika keuntungan tidak kunjung menjelang sampai memakan habis persediaan uang tunai perusahaan, maka perusahaan lambat laun akan berhenti beroperasi, apalagi jika keadaan diperburuk dengan jumlah utang yang menggunung. Tak ayal lagi dentang lonceng kematian semakin keras terdengar sebagai peringatan bagi pimpinan maupun karyawan perusahaan tersebut untuk bersiap diri menghadapi ke-mungkinan terburuk: perusahaan gulung tikar.

Karyawan vs. “Top Management”
Indikator lain yang menunjukkan bahwa perusahaan sedang dalam krisis adalah perseteruan dalam perusahaan. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Sepertinya pepatah ini masih berlaku di dunia bisnis, apalagi antara karyawan dan top management. Divisi yang satu menyalahkan divisi yang lain. Karyawan tidak lagi menaruh rasa hormat dan percaya pada pimpinan. Kondisi ini dapat diibaratkan seperti para pendayung dalam satu perahu yang mendayung ke arah yang berlawanan sehingga kapal berjalan di tempat, bahkan bila kekuatan yang berseteru tidak imbang, kapal bisa oleng dan karam. Jadi, tanpa adanya persatuan dan semangat saling mendukung, sudah dapat dipastikan, perusahaan akan melaju ke arah perpecahan yang ujungnya tentu saja kebangkrutan.

Pelanggan Lari
Indikator yang paling penting untuk dicermati adalah pelanggan. Keberadaan perusahaan sangat tergantung pada dukungan pelanggan, seperti tubuh manusia yang tergantung pada jantung yang berdetak. Jika pelanggan sudah tidak percaya lagi pada perusahaan karena kinerja yang buruk (kualitas layanan dan produk yang buruk), maka perusahaan akan kehilangan kepercayaan pelanggan karena citra buruk yang terbentuk. Hilangnya kepercayaan pelanggan dapat menyebabkan larinya pelanggan ke perusahaan pesaing. Perusahaan yang ditinggalkan oleh pelanggan akan kehilangan kehidupan.
Ketiga indikator penting ini ada pada Continental Airlines ketika Gordon Bethune ditunjuk menjadi CEO pada tahun 1994. Kondisi krisis sudah menggeragoti Continental Airlines selama 10 tahun sebelumnya.

Bangkit Menjadi Yang Terbaik
Lalu, bagaimana mengubah kondisi terburuk menjadi terbaik? Memang tidak mudah, tetapi Gordon Bethune dan timnya telah berhasil mengubah Continental Airlines dari perusahaan yang sudah hampir gulung tikar menjadi salah satu perusahaan terbang terbaik di Amerika Serikat. Bethune menerapkan empat strategi berikut, seperti yang dikutip oleh Neff and Citrin dalam buku mereka ‘Lessons from the Top”.

Mencetak Keuntungan
Langkah pertama adalah memompakan kembali darah keuntungan dalam urat nadi perusahaan. Jika perusahaan belum bisa mendongkrak pendapatan, maka langkah emergensi awal adalah memotong biaya. Salah satunya yang dilakukan oleh Bethune di Continental Airlines (CA) adalah memangkas divisi yang merugi: CALite. Selain itu, Bethune juga merasa perlu untuk menutup jalur penerbangan yag banyak menyebabkan kerugian dan memfokuskan perbaikan pada jalur ‘gemuk’ yang menjadi kekuatan perusahaan.

Membuat “Cash Flow” Menjadi Positif
Pemotongan biaya saja tidaklah cukup. Langkah ini perlu dilengkapi dengan upaya mengubah cash flow yang negatif menjadi positif. Banyak cara yang bisa dilakukan, antara lain dengan merestrukturisasi utang dan melakukan penghematan. Restrukturisasi utang dilakukan dengan negosiasi ulang mengenai penjadwalan utang.
Dalam hal ini perusahaan perlu menunjukkan pada investor, komitmen yang tinggi untuk berubah ke arah yang positif. Gordon Bethune juga mengurangi jenis armada, dari 13 jenis menjadi separuhnya (enam jenis), dan akhirnya menjadi empat jenis saja. Tujuannya adalah untuk menyederhanakan dan mengefisiensikan perawatan dan pembelian ‘spareparts’ pesawat, dan meningkatkan likuiditas perusahaan.

Memperbaiki Kinerja
Untuk memenangkan kembali pelanggan ternyata melalui iklan saja tidaklah cukup. Gordon dan crew berjuang keras tidak hanya memberi janji tetapi juga bukti dengan memperbaiki kinerja CA.
Mereka memperbaiki ketepatan waktu kedatangan dan keberangkatan (tidak lagi terlambat) dan memperbaiki kinerja staf ‘back office’ dalam melayani pemesanan tiket, check in, serta penanganan bagasi penumpang (untuk meniadakan masalah bagasi yang hilang atau yang salah tujuan). CA juga berjuang untuk memperbaiki kualitas makanan dan layanan penumpang di udara.
Langkah yang paling penting dari CA adalah ‘meminta maaf’ pada pelanggan mereka (frequent flyers) dan memberikan komitmen untuk melakukan perubahan positif. Selain itu, CA juga mengambil sikap proaktif untuk mengetahui apa yang diinginkan pelanggan dari mereka, mendengarkan serta menindaklanjuti keinginan dan keluhan dari pelanggan. Ternyata tindakan-tindakan ini bisa mengembalikan kepercayaan pelanggan yang sudah luntur.

Membangun Budaya Positif
Mengubah budaya perusahaan yang sudah mengakar tidaklah mudah. Bethune pun menyadari hal ini. Karena itu, untuk membangun budaya perusahaan yang baru, Gordon Bethune merasa bahwa CA memerlukan generasi pimpinan yang baru. Strategi yang diambil Gordon Bethune adalah mengganti 50 dari 61 lapis pimpinan perusahaan tingkat menengah ke atas. Ke 50 orang ini diganti dengan 20 tenaga yang dianggap terbaik di bidang mereka masing-masing.
Kepada ke 20 pimpinan baru, Gordon menularkan komitmen untuk melakukan ‘profit sharing’ dengan kar-ya-wan, sehingga budaya ‘If I win, you win’ pun bisa dipupuk dengan baik dan ditularkan dengan cepat dari atas ke bawah.
Budaya ini membangun persatuan yang solid antar karyawan, rasa saling menghargai dan memupuk semangat yang tinggi untuk sama-sama menang membangun perusahaan. Selain itu, dengan menciutkan tingkatan dan jumlah ‘petinggi’, birokrasi bisa dipangkas dan biaya operasional bisa dihemat.
Ternyata setelah satu tahun menjalankan empat strategi utama ini, Gordon Berthune bersama timnya bisa memenangkan kepercayaan karyawan, hati pelanggan, dan hati pemegang saham. Kepercayaan yang telah tertanam ini akhirnya bisa menyelematkan Continental Airlines dari keterpurukkan, bahkan dalam waktu yang relatif singkat bisa mengubah posisi perusahaan penerbangan ini dari yang terburuk melesat menjadi salah satu yang terbaik. Apakah Anda atau perusahaan Anda sedang berada pada titik terendah? Jika memang Anda merasa perusahaan masih pantas untu dipertahankan, mengapa tidak mencoba ‘turnaround strategy’ yang telah diterapkan Gordon Berthune? Dengan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi perusahaan, bisa jadi Andapun dapat mengubah kondisi terburuk menjadi yang terbaik.
Selamat mencoba!

by djajendra @ 2009-07-16 – 07:51:34

"Mayoritas Pekerja Di Kantor/Pabrik Lebih Suka Bersembunyi Dibalik Zona Nyaman Kerja Mereka, Sambil Merasa Tidak Puas Dengan Pangkat Dan Jabatan, Yang Naiknya Seperti Keong Yang Sedang Naik Pohon." -Djajendra

Meskipun Anda telah bekerja keras disepanjang hari-hari kerja Anda, Anda akan sulit meraih karir tertinggi, jika Anda terjebak dalam cara kerja berdasarkan kebiasaan. Anda harus berani melakukan perubahan-perubahan terhadap cara kerja Anda dengan melihat cara-cara baru, taktik dan strategi baru, nilai-nilai kerja baru, atau pun teknik-teknik kerja yang lebih efektif dan efisien.
Suatu ketika, saat saya sedang memberikan pelatihan leadership motivation, yang berjudul The Best Habits Of Excellent Leaders, di sela-sela coffee break, seorang peserta sambil tersenyum menghampiri saya. ” Pak, saya selalu mengalami kesulitan untuk memimpin diri sendiri, apalagi untuk mengeksplorasi potensi-potensi diri saya.” Sebelum saya memberikan jawaban, dia mulai bercerita tentang dirinya yang adalah seorang pecandu kerja, yang selalu rajin menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, dan dia sangat menikmati semua rutinitas kerja di kantor. ”Masalah saya sekarang ini, sudah lebih lima tahun posisi dan jabatan saya tetap di satu posisi, sama sekali tidak ada kenaikan jabatan buat saya. Apakah saya ini memang pribadi yang tidak mempunyai harga buat perusahaan?” tanya dia kepada saya.”
Anda telah terjebak dalam zona nyaman kerja Anda,” kata saya padanya. ”Namun, pertanyaan Anda pada saya sekarang ini menunjukkan indikasi bahwa Anda sedang berontak kepada zona nyaman Anda. Jadi, sekarang ini waktu yang tepat buat Anda untuk melakukan perubahan-perubahan terhadap mind set Anda, agar Anda mau bekerja untuk jabatan dan posisi yang lebih tinggi.” Jawab saya kepadanya.
Sering sekali karyawan yang terjebak di dalam zona nyaman pekerjaannya, disebabkan oleh perasaan takut kehilangan atas apa yang sedang dinikmati di dalam pekerjaan, mungkin juga pekerjaan yang sedang dilakoni sekarang telah menyatu ke jiwa terdalamnya, sehingga dirinya takut berpikir untuk melakukan perubahan terhadap zona nyaman kerjanya. Maka itu pikiran kreatifnya tidak mampu menciptakan taktik, strategi, dan cara kerja baru untuk mendapatkan jabatan atau pun posisi yang lebih tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dari ucapan si peserta training di atas, yang mengatakan bahwa dirinya seorang pecandu kerja yang rajin menyelesaikan pekerjaan tepat waktu.
Artinya, dia sangat menikmati pekerjaan yang sekarang, dan dia sebenarnya tidak mempunyai masalah apa-apa dengan pekerjaan yang sedang dia kerjakan saat ini, dia hanya menginginkan promosi kenaikan jabatan atau pun posisi yang lebih tinggi. Jadi, persoalan si penanya lebih kepada status, bukan pada esensi kerja.
Pada umumnya peserta pelatihan ini mengakui bahaya dari zona nyaman pekerjaan mereka. Mereka juga menyadari bahwa rutinitas dan kebiasaan yang tak diperbarui hanya akan menjadi penghambat upaya mencapai karir kerja tertinggi. Persoalannya, perusahaan juga tidak menghendaki karyawannya untuk melakukan perubahan, semua orang di kantor diarahkan untuk sibuk dengan urusan masing-masing dalam sebuah bentuk relasi kerja yang rutin, dan yang itu - itu saja. Perusahaan selalu tidak akan mau peduli kepada urusan perasaan dan harapan karyawan. Bagi perusahaan yang terpenting adalah karyawan harus mampu berkinerja tinggi sesuai etos kerja perusahaan.
Perusahaan yang baik pasti selalu memperbarui organisasi dengan nilai-nilai kerja yang berkualitas tinggi, sehingga para karyawan bisa menemukan alasan-alasan baru untuk memiliki antusiasme, keinginan, dan komitmen terhadap kemajuan organisasi.Seorang karyawan hanya akan merasa puas dengan pekerjaannya, ketika dia mampu melihat pekerjaannya tumbuh ke level yang lebih tinggi, ketika dia mampu merasakan berharga buat perusahaan, ketika dia merasakan adanya keadilan dan kejujuran dalam budaya organisasi.
Pemenang memerlukan strategi(otak) bukan kebiasaan(otot). :) ^_^

21:17

MENGAPA KINERJA KARYAWAN BISA MENYIMPANG?

Posted by NINJA |

Prof. Dr. Ir. H. Sjafri Mangkuprawira Guru Besar di Institut Pertanian Bogor untuk mata kuliah MSDM Strategik, Ekonomi Sumberdaya Manusia, Teori Organisasi Lanjutan, Perencanaan SDM, Manajemen Kinerja, Manajemen Pelatihan, Manajemen Program Komunikasi. MSDM Internasional, Manajemen Pemberdayaan Masyarakat dan Lingkungan


Sebagai manajer atau supervisor, anda pasti menginginkan karyawan anda berkinerja tinggi. Namun dalam kenyataannya antara keinginan dan fakta dapat mengalami penyimpangan negatif. Pasti ada masalah yang dihadapi. Pertanyaannya mengapa demikian?. Padahal, karyawan, katakanlah sudah berpengalaman kerja rata-rata lima tahun dengan tingkat pendidikan rata-rata lulusan diploma. Diduga ada faktor-faktor yang memengaruhinya yakni ketidak-jelasan peran, rendahnya kompetensi, keragaman sistem nilai yang dimiliki karyawan, preferensi yang berbeda, dan kurangnya penghargaan.

(a). Kejelasan peran karyawan.
Peran dapat diartikan sebagai suatu karakter yang harus dimainkan seorang pelaku; dalam hal ini karyawan. Bisa juga diartikan sebagai karakteristik dan perilaku sosial yang diharapkan dari seseorang sesuai posisi dan fungsinya. Dalam prakteknya peran bisa berbentuk: pertama, peran yang sudah ditetapkan dan, kedua, peran baru yang dipilih manajer untuk karyawan tertentu sesuai dengan posisinya. Kalau toh kedua peran itu sudah ada lalu mengapa masih saja terjadi penyimpangan kinerja. Penyebabnya adalah bisa jadi manajer atau supervisor sering mengabaikan pentingnya penjelasan peran baru yang dipilihnya kepada karyawan. Manajer atau supervisor diduga menggunakan asumsi bahwa karyawan sudah mengetahui jenis peran yang diembannya. Padahal tidak selalu seperti itu. Karena itu dalam setiap unit harus sudah terdapat apa yang disebut uraian pekerjaan dan uraian peran yang jelas dan dijadikan acuan kerja oleh seluruh karyawan dan manajer. Semakin jelas dan terinternalisasinya uraian peran di kalangan karyawan dan manajer/supervisor cenderung semakin kecilnya peluang terjadinya penyimpangan kinerja. Namun kalau karyawan memperoleh peran baru maka pertanyaannya adalah apakah itu sudah memadai sesuai dengan kompetensinya?

(b). Kompetensi Karyawan.
Kejelasan peran saja tidak cukup untuk mendongkrak kinerja karyawan. Ada faktor lain yang memengaruhi kinerja karyawan yakni faktor kompetensi yang dimilikinya. Kompetensi terbagi dua yakni kompetensi “keras” berupa pengetahuan dan ketrampilan, dan kompetensi “lunak” berupa sikap, etos kerja, motivasi, prakarsa, kreatifitas dan empati. Jenis kompetensi yang terakhir sering juga disebut sebagai keahlian lunak (soft skills). Kompetensi dapat juga dikelompokkan menjadi yang terlihat dan tersembunyi. Kompetensi yang terlihat seperti pengetahuan yang dicirikan dengan pemilikan sertifikasi, dan keahlian yang dicerminkan dengan posisi dan status pekerjaannya yang rutin. Sementara yang tersembunyi berupa nilai-nilai, misalnya kemampuan karyawan dalam membuat keseimbangan antara kepentingan pekerjaan dan keluarga; konsep diri atau kepercayaan diri; dan kepribadian diri seperti jujur, tenang, motivasi, dan bijak. Semakin tinggi derajad kompetensi karyawan semakin tinggi pula kinerja yang dihasilkannya.

(c). Lingkungan Kerja.
Kalau kejelasan peran dan kompetensi sudah terpenuhi maka karyawan akan lebih mampu meningkatkan kinerjanya jika didukung lingkungan kerja yang nyaman. Lingkungan kerja disini dilihat dari lingkungan fisik dan non-fisik. Lingkungan fisik antara lain berupa fasilitas kerja termasuk peralatan kerja atau tools, ruangan, kursi dan meja, listrik, pendingin ruangan, kebisingan yang rendah, dan alat pengaman. Sementara lingkungan non-fisik antara lain berupa gaya kepemimpinan manajer yang partisipatif, kompensasi, mutu hubungan vertikal dan horisontal seperti kebersamaan serta lingkungan sosial. Semakin nyaman lingkungan kerja semakin tinggi kinerja karyawannya.

(d).Sistem Nilai.
Nilai adalah suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku dan tujuan akhir yang diinginkan individu, dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya. Konflik yang terjadi antara manajer atau supervisor dengan karyawan bisa jadi karena dipengaruhi perbedaan nilai tentang ukuran kinerja pekerjaan; apakah dilihat dari proses ataukah hasil; ataukah gabungan keduanya. Mungkin saja sang manajer atau supervisor menginginkan penerapan model kerja yang berorientasi hasil. Alasannya karena hasil akan mencerminkan seberapa jauh kemampu-labaan perusahaan dapat tercapai. Sementara karyawan berpandangan bahwa keberhasilan kinerja dicerminkan oleh orientasi proses yang ditunjukan oleh penerapan cara-cara pekerjaan, sistematika bekerja, koordinasi, dan kontrol kerja dari manajer atau supervisor. Bagi seorang manajer atau supervisor yang bijak maka dipilihlah kombinasi keduanya yakni berorientasi proses dan hasil. Dengan cara itu maka “kesepakatan” penggabungan sistem nilai akan mendorong peningkatan kinerja karyawan. Semacam “win-win solution, “win-win result”, dan “win-win outcome”.

(e). Preferensi.
Kalau kejelasan peran, kompetensi, dan kesepakatan sistem nilai sudah ada maka tampaknya tak ada alasan lagi bagi karyawan untuk berkinerja rendah. Benarkah selalu demikian?. Masih ada faktor lain yang memengaruhinya yakni derajad kesukaan atau preferensi terhadap pekerjaan tertentu. Kalau mereka yang tergolong teori Y (suka bekerja, disiplin, dan bertangung jawab), jenis pekerjaan apapun cenderung siap untuk dilaksanakan karyawan. Namun bisa saja ada sebagian kecil karyawan tergolong teori X (tak suka bekerja, malas, dan tak bertanggung jawab), maka proses dan kinerja karyawannya menjadi rendah. Karena itu manajer atau supervisor hendaknya dapat mengidentifikasi derajad preferensi seseorang (karyawan) terhadap pekerjaan yang diberikan kepada karyawan. Tidak jarang preferensi seseorang sangat dipengaruhi bio-ritmenya. Selain itu sangat penting dilakukan pengarahan kepada semua karyawan bagaimana bekerja kompak mutlak diwujudkan. Hal ini mengingat suatu pekerjaan umumnya dilakukan oleh suatu tim. Satu saja karyawan tidak suka dengan pekerjaan tertentu maka akan dapat mengganggu suasana kerja tim yang akhirnya akan mengganggu kinerja tim.

(f). Penghargaan.
Pada dasarnya setiap manusia, sekecil apapun membutuhkan penghargaan dari orang lain. Misalnya butuh disapa, dikasihi, dicintai, ditolong, dan didoakan. Jadi semacam pengakuan orang lain atas keberadaan diri individu bersangkutan. Dalam bidang pekerjaan, penghargaan yang dibutuhkan karyawan tidak saja selalu berbentuk kompensasi finansial tetapi juga non-finansial. Kompensasi finansial dapat berupa gaji, upah, insentif, dan bonus. Sementara kompensasi non-finansial bisa berupa jenjang karir, piagam penghargaan prestasi, dan ucapan terimakasih. Mengabaikan penghargaan kepada karyawan sama saja mengabaikan kebutuhan dasar manusia. Padahal penghargaan adalah unsur vital dalam membangun motivasi dan kepuasan bagi karyawan untuk meningkatkan kinerjanya.


The more important thing is not WHO YOU ARE But WHAT YOU HAVE DONE

Do what you trust and trust what you do because the most important is do what you think not think what you do -UGOGAWENEUGALUGALANAGAWEMODARURIPMENUNGSA-
Template Design by Hiroyuki_Mori